09 April 2019

Kisah Orang Batak Pemakan Manusia di Kampung Ambarita


“Takjub” bathin ku saat menepakkan kaki di Kampung Ambarita yang berada di kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

Bagaimana tidak, di kampung ini memiliki sejumlah benda-benda peninggalan prasejarah dari zaman megalitikum yang membuat aku tak berhenti berdecak kagum.

Perjalananku menuju kampung Ambarita mengunakan kapal wisata. Perjalanan kurang lebih ditempuh selama 1 jam dari hotel tempat ku menginap di Parapat, Kabupaten Simalungun.




Dalam perjalanannya, kapal wisata yang aku tumpangi melaju menyusuri Danau Toba yang airnya sangat jernih. Dari atas kapal terlihat jelas bukit-bukit menghijau mengitari Danau Toba. Lagi-lagi aku memuji indahnya ciptaan Tuhan.



Sesampainya di Ambarita, aku bersama rombongan diantar pemadu wisata menuju Huta Siallagan, sebuah kampung yang masih eksis memelihara cerita dan peninggalan para leluhurnya.

Memasuki Huta Siallagan, mataku langsung tertuju pada deretan rumah bolon yang berjejer rapi, tanpa diminta aku langsung meminta teman untuk mengabadikan moment ini dengan kamera handphone.

Disalah satu rumah bolon, mataku kembali tertegun melihat kursi batu yang melingkar, di salah satu kursinya ada pahatan orang yang tengah duduk.

Tak lama aku mengamati kursi batu itu, pasalnya pemandu wisata mengajak aku dan rombongan untuk menari bersama patung Si Gale-Gale. Tiga hingga empat tarian dimainkan dengan dipandu oleh dua orang guide dan satu pemain musik, suara khas gondang batak akan terdengar oleh seisi kampung Huta Siallagan hingga diteriakkan Horas! Horas! Horas pertanda berakhirnya tarian.


Usai menari, pemandu wisata menjelaskan tentang kursi batu yang aku amati tadi, ternyata kursi itu adalah kursi persidangan yang berujung dengan tradisi makan manusia. Tapi jangan salah ya, tradisi ini sudah lama hilang, namun ceritanya masih mengakar sampai sekarang.

Menurut pemandu wisata, dari kursi persidangan inilah kampung Huta Siallagan dijuluki sebagai desa yang terkenal dengan tradisi memakan manusia. Tapi, raja dan masyarakat Huta Siallagan tak asal makan manusia kalau lapar, manusia yang dimakanpun ada alasannya.


Manusia yang dimakan adalah orang yang mendapat hukum adat karena telah melakukan tindak kejahatan seperti pemerkosaan, penghianat serta musuh. Seseorang yang melakukan tindak kejahatan ini akan ditentukan kesalahannya di meja dan kursi yang melingkar ini. Ada dua pilihan hukuman yang mungkin terjadi, yaitu hukum pasung atau hukum pancung.

Dalam persidangan biasanya raja dan petinggi lainnya mencari hari baik untuk mengeksekusi  berdasarkan kalender batak. Jika persidangan telah diputuskan, hukuman menanti. Untuk yang dipancung, mula-mula terdakwa akan dipasung terlebih dahulu di salah satu rumah bolon yang ada sambil menunggu hari eksekusi tiba. Jika hari eksekusi tiba, terdakwa akan dipindah tempatkan menuju lokasi eksekusi.

Akhir cerita, pemandu wisata mempersilahkan kami menuju pintu keluar Huta Siallagan. Dikanan kiri jalan menuju pintu keluar itu berderet para pedagang menjajakan dagangannya. Ada yang menjual kain ulos, pahatan-pahatan yang sangat artistik hingga pernak-pernik khas daerah setempat.


Aku membeli kain ulos sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah ke Huta Siallagan, desa Batak kuno yang banyak memiliki warisan budaya.

Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar